Politik Semakin Tak Bermoral: Obral Isu Sultan Raja, Jena Teke, Sekarang Hanya Sebatas Simbolik -->
Cari Berita

Iklan 970x90px

Politik Semakin Tak Bermoral: Obral Isu Sultan Raja, Jena Teke, Sekarang Hanya Sebatas Simbolik

Friday, May 29, 2020

Muhammad Soalihin.


Bima, Bima Today.- Sebagai pengantar Sultan adalah gelar dalam dunia Muslim yang digunakan untuk merujuk berbagai kedudukan yang beragam dalam sepanjang sejarah penggunaannya. Namun seringnya, sultan digunakan untuk mengacu pada kepala monarki Muslim yang berkuasa atas sebuah negara Islam. Di masa modern, gelar sultan kerap disamakan dengan khalifah, meskipun terdapat beberapa perbedaan mendasar atas kedua gelar ini. Khalifah merupakan gelar untuk pemimpin seluruh umat Islam (terlepas sebagai pemimpin secara hierarkis atau sekadar simbolis), sementara sultan adalah penguasa dari sebuah negara Muslim, sehingga dia bukanlah pemimpin umat Muslim yang berada di wilayah kekuasaannya. Kedua gelar ini kerap disamakan. Sultan juga kerap disamakan dengan Raja Meski sama-sama merujuk kepada kepala monarki, sultan memiliki konotasi agama Islam di dalamnya sehingga tidak sepenuhnya dapat disamakan. Dalam penggunaannya di dunia internasional, biasanya sultan tidak diterjemahkan menjadi 'raja' dalam berbagai bahasa setempat, tetapi diserap apa-adanya. Di Kerajaan Bima dulu ada Istilah Jena Teke. Perlu di pahami ini bukan hanya perbedaan istilah yang mengandung kesamaan arti. Jena Teke artinya putra Mahkota. Sebutan Sultan itu sebutan Raja era Kesultanan sedangkan Jena Teke berlaku dari sistem kerajaan hingga kesultanan, tidak relevan untuk kondisi sekarang sebab kita tidak sedang berada dalam sistem kerajaan atau kesultanan melainkan hanya sebatas simbol bahwa kita pernah menetapkan sistem itu dalam bingkai sejarah kerajaan Nusantara.

Sekarang beredar isu di media sosial yang menggandeng Muhammad Putera Ferryandi dengan beredarnya foto biasa tetapi dianggap melanggar kedudukannya sebagai seorang Sultan secara Simbolik bukan sebagai Monarki hal ini banyak memunculkan pro dan kontra. Ada sebagian kelompok menindaknya keliru ada yang menganggap hal yang biasa sebagai manusia yang masih lajang.

Sekarang muncul permasalahannya kebanyakan orang menganggap ini tidak wajar dikarenakan dia menyandang gelar sultan. Perlu diketahui bersama bahwa gelar sultan yang di gandeng Muhammad Putera Ferryandi merupakan sebuah gelar simbolik bukan gelar monarki seperti Sultan Hamengkubuwono Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara fungsi dan birokrasi jelas pelaksanaannya beda jangan pernah disamakan.

Sejak awal masuknya Islam di Bima tahun 1612M kerajaan Bima merubah tatanan monarki kerajaan dari Hindu siwa menjadi Islam dengan ditandai berubahnya gelar seorang raja menjadi sultan dengan landasan dan dasar karena kerajaan berpatokan pada hukum Islam dan hukum hadat. Tetapi akhir masa perjuangan RI setelah kerajaan Bima melebur kedalaman NKRI sistem kesultanan hanya menjadi simbolik bukan secara monarki tujuannya apa supaya rekam jejak kerajaan Islam di wilayah timur Indonesia tetap dikenang dalam sejarah nusantara.

Ketika ada kelompok yang menggandeng gelar sultan sebagai kepribadian dimasa sekarang sanggatlah keliru, sebab gelar sultan sekarang hanya sebuah simbolik bagi kerajaan Bima. Sudah jelas bahwa Sultan secara simbolik itu tidak ada tugas secara langsung mengawasi kegiatan agama secara penuh karena sudah di serahkan pada kepemimpinan negara.

Beredarnya foto yang dianggap senonoh oleh sebagian kelompok ini masih dalam batas kewajaran hal ini menjadi tidak wajar lantaran objek kaum hawa yang tidak memakai pakaian yang sopan berdasarkan sudut pandang Islam. Jelas salahnya bukan berada pada Muhammad Putera Ferryandi tetapi karena objek pendamping dalam foto itu tidak berhijab dan tidak kelihatan Muslimah ini menjadi masalah bagi setiap kelompok walaupun secara undang undang dan asas hukum tidak disalahkan atau dipermasalahkan.

Mengapa ini menjadi permasalahan bagi setiap kelompok? Menginginkan seorang raja simbolik seperti leluhurnya. Jelas disini gagal paham terhadap kedudukan raja sebagai simbol dan kedudukan raja sebagai monarki yang menggandeng kekuasaan berdasarkan tuntutan agama dan hukum hadat.

Perlu di pikirkan kembali jangan sampai kondisi seperti ini hanya sebuah isu yang menunggangi politik dan kepentingan kelompok untuk kepuasan kelompok sendiri. Selama batas kewajaran itu di anggap biasa, kesalahannya karena memandang wanita dalam objek foto itu tidak mencerminkan kewajaran.

Tidak usah dibesar besarkan dengan menggandeng isu marwah DPR sudah terinjak akibat beredar foto ini dan sebagainya. Justru kalau memang Yandi dituduhkan bersalah atas foto itu dilaporkan secara hukum jangan membuat informasi yang bikin acuh dan gaduh.

Sebagai penutup untuk kita bersama perlu diingatkan bahwa gelar sultan yang digandeng Yandi adalah gelar sultan secara simbolik bukan secara monarki artinya tidak ada tanggung jawab seperti sultan masa lampau yang memang dibebankan kepada hukum agama dan hukum hadat. Sebagai tatanan kehidupan kerajaan.

Kita ini aneh ketika Muhammad Putera Ferryandi dilantik sebagai sultan secara simbolik sebagian kelompok tidak menerima adanya gelar sultan secara simbolik. Tapi setelah beredarnya foto yang dianggap tidak wajar seketika mengakui Ferry yandi sebagai sultan dan raja. Waraslah dalam berpikir kemaslahatan bersama jangan menjadi pribadi paginya kedelai sorenya tempe karena di tunggangi ketidakpuasan dalam berpolitik. (*)

Penulis: Mahasiswa Pasca Sarjana UNY, Muhammad Soalihin.