Oleh: H. Adlan Daie
Wakil Sekretaris PWNU Jawa Barat (2009- 2021)
Dalam sebulan terakhir Puan Maharani, ketua DPR RI, '"trah" politik pewaris PDI Perjuangan minimal tiga kali melakukan pertemuan dengan sejumlah tokoh struktural Nahdlatul Ulama (NU), ormas Islam terbesar di Indonesia. Yakni pertemuan Puan Maharani dengan Khafifah Indar Parawangsa, Gubernur Jawa Timur sekaligus Ketua Umum Muslimat, badan otonom NU dan KH. Marzuki Muktamar, ketua PWNU Jawa Timur dalam safari politiknya beberapa hari di wilayah Jawa Timur akhir Pebruari 2022 hingga "blusukan" ke desa desa terpencil di bagian timur pulau Madura, basis kuat warga Nahdiyiiin.
Puncaknya awal Maret 2022 saat makin menguatnya isu penundaan pemilu yang disuarakan sejumlah ketua umum partai politik Puan Maharani didampingi sejumlah elite PDIP seperti Ahmad Basarah (wakil ketua MPR RI) dan Said Abdullah (ketua Badan Anggaran DPR.RI) melakukan silaturahim politik dengan Ketua Umum PBNU, KH. Yahya Chalil Staquf - biasa disapa Gus Yahya - didampingi Sekjen PBNU, Saefullah Yusuf (Gus ipul) di kantor PBNU, kramat raya Jakarta.
Pertemuan dan safari politik Puan Maharani dengan sejumlah tokoh NU di atas dari sudut pandang penulis mengirim pesan politik simbolis bahwa Puan Maharani, generasi ketiga dari representasi politik "nasionalis" melanjutkan kakeknya bung Karno dan ibundanya Megawati Soekarno putri - dalam menjaga dan memelihara relasi politik dengan kekuatan politik NU yang juga diwakili generasi ketiga NU, yakni Gus yahya, Saefullah Yusuf, khafifah Indar Parawangsa dll. Sebuah pertalian historis yang hendak dirawat Puan Maharani dalam relasi politik kekinian dengan NU.
Inilah dua kekuatan politik "nasionalis" dan "religius", jangkar dari politik kebangsaan. Meneguhkan kembali komitmen kebangsaannya di tengah tarikan keras tantangan ideologi transnasional baik atas nama agama maupun ideologi lainnya di era media sosial yang sangat dahsyat melampaui teritorial negara. Puan Maharani hendak mengirim pesan bahwa kontestasi politik elektoral apapun tidak boleh merusak tenun kebangsaan.
Kokohnya Pancasila sebagai dasar ideologi bangsa terletak pada titik temu wawasan kebangsaan bung karno dan wawasan keagamaan NU yang mengkristal kuat dan membatin dalam lima sila dalam Pancasila. Keputusan Munas NU tahun 1952 untuk memberi gelar Bung karno sebagai "waliyul amri dharuri bil syaukah", pemimpin negara sementara - hingga diselenggarakannya pemilu - tapi memiliki kekuasaan penuh adalah legitimasi keagamaan NU atas kedudukan bung Karno sebagai kepala negara dalam menumpas gerakan sparatis yang hendak mengganti ideologi Pancasila.
Di titik inilah pertemuan Puan Maharani dengan para tokoh NU di atas harus dibaca, yakni peneguhan komitmen kebangsaan di mana Puan Maharani hadir bukan sekedar sebagai pejabat negara, ketua DPR.RI, lebih dari itu, adalah panggilan historis kebangsaan untuk menjaga harmoni bangsa sebagai generasi politik untuk melanjutkan peran peran kebangsaan dan "legacy" dari kakeknya, bung karno, dan ayah bundanya, Taufiq Keimas dan Megawati Soekarno puteri, dua politisi suami istri yang tangguh menjaga tenun kebangsaan. Bahkan dari "trah", sang nenek, Fatmawati, Puan Maharani memiliki titik sambung pula dengan ormas islam terbesar lainnya, Muhammadiyah.
Pertanyaannya apakah safari politik Puan Maharani di atas memiliki efekt elektoral politik terhadap dirinya dalam konteks kontestasi pilpres 2024 mari kita tunggu dinamikanya dalam beberapa waktu ke depan. Tetapi sebagai tokoh politik Puan Maharani jelas memiliki kekuatan simpul perekat bangsa. Puan Maharani mewakili representasi politik "nasionalis" terbesar di Indonesia sekaligus memiliki relasi kuat secara genetis dan ideologis dengan minimal dua ormas Islam terbesar di Indonesia, yakni NU dan Muhammadiyah ( ***)